Beranda | Artikel
Mensucikan Kencing Bayi
Rabu, 7 Juni 2017

MENSUCIKAN KENCING BAYI

عَنْ أَبِي السّمْحِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، ويُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الغُلامِ

Dari Abu Samhi Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kencing bayi perempuan dicuci dan kencing bayi laki-laki cukup dibasahi saja dengan air.”

BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADITS
Beliau adalah Abu Samhi maula Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada yang menyatakan beliau adalah khadim (pembantu) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Nama beliau adalah Iyâd. Beliau hanya meriwayatkan satu hahadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara murid beliau adalah Muhill bin Khalifah ath-Thâ’i.

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: Beliau tersesat jalan dan tidak diketahui di mana wafatnya.[1]

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini telah dikeluarkan oleh Abu Dawûd (no. 376), an-Nasâ-i (1/158), Ibnu Mâjah (no. 526), Ibnu Khuzaimah (no. 283), Ad-Dâruquthni (1/130) dan al-Hâkim (1/166). Semuanya dari beberapa jalan dari Abdurrahmân bin Mahdi, (ia berkata): Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Walîd, (ia berkata): Telah menceritakan kepadaku: Muhill bin Khalifah ath-Thâ’i, (ia berkata): Telah menceritakan kepadaku Abu Samhi, ia berkata:

 كُنْتُ أَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَكَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَغْتَسِلَ قاَلَ: “وَلِّنِيْ قَفَاكَ” فاُوَلِّيْهِ قَفَايَ فَأَسْتُرُهُ بِهِ، فَأُتِيَ بِحَسَنٍ أَوْ حُسَيْنِ ، فَبَالَ عَلَى صَدْرِهِ، فَجِئْتُ أَغسِلُهُ، فَقَالَ: “يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلا

Aku menjadi pelayan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ingin mandi berkata, “Berpalinglah! Maka aku berpaling lalu menutupi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian Hasan atau Husein dibawa kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengencingi dada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu aku datang untuk mencucinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Dicuci dari kencing bayi perempuan dan di basahi dari kencing bayi lelaki.”

Al-Baihaqi rahimahullah telah menukilkan pernyataan Imam al-Bukhâri, “Hadits Abu Samhi (ini) adalah hadits hasan.”[2]  Ini juga dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Talkhîsul Habîr (1/28).

Hadits ini sanadnya hasan karena Yahya bin Walîd ath-Thâ-i  adalah seorang rawi yang hasanul hadits (haditsnya hasan). An-Nasâ-i berkata: “Laisa bihi ba’s (لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ)”. Ibnu Hibbân telah men-tsiqah-kannya dan jama’ah telah meriwayatkan darinya.[3].

Ibnu Hajar di dalam Taqrîb-nya menyatakan “La ba’sa bihi (لاَ بَأْسَ بِهِ)” mengikuti an-Nasâ-i.

Hadits ini diperselisihkan keabsahannya oleh para Ulama, ada yang menilainya shahȋh dan ada yang memandangnya lemah.

Di antara yang menilainya sebagai hadits shahȋh adalah Ibnu Khuzaimah rahimahullah , al-Hâkim rahimahullah , al-Bukhâri rahimahullah , al-Qurthûbi rahimahullah dalam al-Mufhim 2/643, Ibnu al-Mulaqqin rahimahullah dalam al-Badrul Munîr 2/304 dan al-Albâni t dalam Shahȋh an-Nasâ-i 2/62.

Di antara yang menghukuminya sebagai hadits lemah adalah Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhîd 9/112. Beliau berkata: Hadits al-Muhill yang ada padanya keterangan membasahi (hadits tentang membasahi dari kencing bayi lelaki (pen) tidak bisa dijadikan hujjah, sebab al-Muhill seorang perawi lemah. Pernyataan Ibnu Abdil Barr ini dibantah al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Tahdzîb at-Tahdzîb, 10/54 pada biografi Muhil bin Khalifah : Ibnu Abdil Barr tidak ada yang mendukungnya dalam hal ini.

Yang benar adalah bahwa hadits ini shahȋh, karena memiliki sejumlah syawâhid (riwayat penguat) dari jama’ah para sahabat, di antaranya:

1. Dari jalan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu secara mauquf dan marfu’.
Riwayat mauquf:

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ مَا لَمْ يَطْعَمْ

Dari Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dicuci dari kencing anak perempuan dan dipercikkan dengan air dari kencing anak laki-laki selama belum memakan makanan.” [HR Abu Dawûd, no. 377 dengan sanad yang shahȋh]

Riwayat yang marfu’:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ فِي بَوْلِ الْغُلاَمِ الرَّضِيعِ : يُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلاَمِ وَيُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu , bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kencing anak laki-laki yang masih menyusu (ASI), (Beliau bersabda), “Kencing anak laki-laki dipercikkan dengan air dan kencing anak perempuan dicuci.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawûd, (no. 378), at-Tirmidzi (no. 610), Ibnu Mâjah (no. 525), Ahmad (no. I/76, 97, 137), Abdullâh bin Ahmad di Zawâ-id Musnad (I/137), Ibnu Khuzaimah (no. 284), ath-Thahâwi di kitab Syarah Ma’ânil Âtsâr (I/92), ad-Dâruquthni (I/129) dan al-Hâkim (I/165-166), dari jalan Hisyâm (Ad Dastawa-i), dari Qatâdah, dari Abi Harb bin Abi Aswad, dari bapaknya (yaitu Abu Aswad Ad Diyliy atau Ad Du-ali), dari Ali bin Abi Thalib (seperti di atas). Lafazh hadits dari at Tirmidzi.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahȋh.” Dan Hadits ini dinilai shahȋh oleh al-Bukhâri dan Ibnu Khuzaimah.
Al-Hâkim juga menilai hadits ini shahȋh sesuai dengan syarat-syarat al-Bukhâri dan Muslim, dan disetujui adz Dzahabi.

Sanad hadits ini shahȋh atas syarat Muslim saja tanpa al-Bukhâri, tidak seperti yang disampaikan al-Hâkim dan adz-Dzahabi. Karena Abu Harb bin Abu Aswad tidak dikeluarkan oleh al-Bukhâri. Wallahu a’lam.

2. Dari jalan Ummu Kurz Radhiyallahu anhuma.

عَنْ أُمِّ كُرْزٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ : بَوْلُ الْغُلاَمِ يُنْضَحُ وَبَوْلُ الْجَارِيَةِ يُغْسَلُ

Dari Ummu Kurz Radhiyallahu anhuma, Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Kencing anak laki-laki (cukup) dipercikkan saja, sedangkan kencing anak perempuan (wajib) dicuci.”

Riwayat Ibnu Mâjah (no. 527) dan Ahmad (VI/ 422, 440, 464), dari jalan Amru bin Syu’aib, dari Ummu Kurz (seperti di atas).

Hadits ini dha’if munqathi’ (terputus), karena Amr bin Syu’aib tidak pernah mendengar dari Ummu Kurz.
Ibnu Hajar ddalam kitab Talkhîs-nya (I/28) menyatakan, “Pada (sanad)nya terdapat inqitha’ (sanad yang terputus).”

3. Dari jalan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  كَانَ يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ فَيُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ وَيُحَنِّكُهُمْ فَأُتِيَ بِصَبِيٍّ [يَرْضَعُ] فَبَالَ عَلَيْهِ (وَفِيْ رِوَيَةٍ : فَبَالَ فِي حَجْرِهِ) (وَفِيْ رِوَيَةٍ : فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ) فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ بَوْلَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ *

 Dari ‘Aisyah isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ia berkata), “Bahwasanya pernah dibawa kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa anak laki-laki, kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan keberkahan atas mereka dan mentahnik mereka. Lalu dibawa kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang anak laki-laki yang masih menyusu, lalu anak itu mengencingi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,”

(Dalam riwayat yang lain), lalu anak itu kencing di pangkuan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
(Dalam riwayat yang lain), lalu anak itu mengencingi pakaian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air dan memerciki kencing bayi laki-laki itu dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencucinya.”

Hadits ini diriwayat Mâlik (I/83 dalam Tanwîrul Hawâlik Syarah Muwaththa oleh Suyuthi), al-Bukhâri (no. 222, 5.468, 6.002, 6.355), Muslim (I/163-164), an-Nasâ-i (I/157), Ibnu Mâjah (no. 523), Ahmad (VI/ 46), ath-Thahâwi di Syarh Ma’anil Â-tsâr (I/ 92, 93), Ibnu Hibbân di dalam Shahih-nya dan Ibnu Jarûd dalam al-Muntaqa (no. 140). Semua dari beberapa jalan dari Hisyâm bin ‘Urwah dari bapaknya, dari ‘Aisyah (seperti di atas).

4. Dari jalan Ummu Qais binti Mihshan Radhiyallahu anhuma

عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حِجْرِهِ ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ.

Dari Ummu Qais binti Mihshan Radhiyallahu anhuma , bahwa dia pernah membawa anak laki-laki yang masih kecil (bayi) kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendudukkannya di pangkuan Beliau. Kemudian bayi laki-laki itu mengencingi pakaian Beliau. Lalu Beliau meminta air, kemudian memercikkannya dan Beliau tidak mencucinya.

Hadits diriwayatkan oleh Mâlik (I/83), al-Bukhâri (no. 223, 5693), Muslim (1/164), Abu Dawûd (no. 374), at-Tirmidzi (no. 71), an-Nasâ-i (I/157), Ibnu Mâjah (no. 524) dan lain-lain banyak sekali.

5. Dari jalan Ummu Fadhl Lubâbah binti Hârits Radhiyallahu anhuma.

عَنْ لُبَابَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ قَالَتْ كَانَ الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِيْ حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَبَالَ عَلَيْهِ فَقُلْتُ الْبَسْ ثَوْبًا وَأَعْطِنِيْ إِزَارَكَ حَتَّى أَغْسِلَهُ  قَالَ : إِنَّمَا يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اْلأُنْثَى وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الذَّكَرِ

Dari Lubâbah binti Hârits, ia berkata: Husain bin Ali Radhiyallahu anhu pernah berada di pangkuan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu dia mengencingi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka aku berkata (kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ): “Pakailah pakaian yang lain, dan berikanlah kainmu kepadaku agar aku dapat mencucinya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang dicuci itu hanya kencing anak perempuan, sedangkan kencing anak laki-laki (cukup) dipercikkan.”

Hadits diriwayatkan Abu Dawûd (no. 375), Ibnu Mâjah (no. 522), Ahmad (6/ 339), ath-Thahâwi di Syarah Ma’ânil Â-tsâr (1/ 92, 94), Ibnu Khuzaimah (no. 282) dan al-Hâkim (1/166). Semuanya dari tiga sanad periwayatan dari Lubâbah binti Hârits. Dua sanadnya shahih dan satunya hasan karena ada Qabûs bin Mukhâriq seorang rawi yang hasanul hadits (hasan haditsnya). Al Hafizh di Tarîb-nya berkata: “Lâ ba’sa bihi (لابأس به).”

Tetapi hadits ini shahȋh, (yang) disebabkan:
Pertama. Telah datang dua jalan lain yang dikeluarkan oleh Ahmad (VI/ 339, 340) dengan sanad shahȋh.
Kedua. Telah ada sejumlah syawahidnya dari hadits-hadits yang telah lalu.

Hadits ini dinyatakan sebagai hadits yang shahȋh al-Hâkim dalam al-Mustadrak 1/166 dan disepakati adz-Dzahabi. Syeikh al-Albâni rahimahullah dalam kitab Takhrîj al-Misykâh 1/156 juga menilainya shahȋh. Al-Baihâqi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits musnad[4] dalam pembedaan antara kencing lelaki dan kencing bayi wanita dalam masalah ini apabila digabungkan maka akan menjadikannya kuat).[5]

PENGERTIAN KOSA KATA HADITS
(الْجَارِيَةُ) adalah anak perempuan, dinamakan demikian karena lincahnya. Yang dimaksud adalah anak kecil yang masih dalam masa menyusui.

(وَيُرَشُّ) menyiram air hingga membasahi seluruh yang terkena air kencing. Perbedaan antara (الغُسْلُ) dengan (النَّضْحُ) adalah kalau (الغُسْلُ) adalah membasahi pakaian dengan air hingga menetes dan (النَّضْحُ) adalah membasahi pakaian dengan memperbanyak air namun tidak sampai air mengalir dan menetes.

(الغُلاَمُ) adalah anak kecil lelaki dari lahir hingga baligh. Yang dimaksud di sini adalah yang masih menyusui.

PENGERTIAN UMUM HADITS
Sahabat Abu Samhi mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan kencing bayi perempuan dengan kencing bayi lelaki dalam tingkatan najisnya. Padahal asalnya hukum kencing adalah najis, namun diringankan pada kencing bayi lelaki yang masih menyusui dengan cukup dibasahi yang terkena kencingnya. Sedangkan kencing bayi perempuan tetap seperti yang lainnya.

FIKIH HADITS
Di antara fiqih dari hadits-hadits yang mulia di atas ialah:

  1. Kencing bayi laki-laki yang belum mengkonsumsi makanan lain selain ASI, yakni masih menyusu, apabila mengenai pakaian dan lain-lain, (maka) cara membersihkannya cukup dibasahi saja dengan air yang rata dan tidak harus dicuci dan diperas, sebagaimana sabda dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Ini menunjukkan, kencing bayi laki-laki najis dengan najis yang ringan. Ketentuan di atas setelah memenuhi dua syarat. Pertama. Bayi tersebut adalah bayi laki-laki bukan bayi perempuan. Kedua. Bayi tersebut belum memakan makanan selain air susu ibu (asi) dengan kehendak dan keinginannya.
  2. Perbedaan antara kencing bayi lelaki dan perempuan adalah pada cara membersihkannya dan sama-sama wajib menggunakan air.
  3. Imam Ibnu al-Qayyim t berkata, “Pembedaan antara kencing bayi lelaki dan perempuan termasuk kemuliaan syariat dan kesempurnaan hikmah dan maslahatnya.

Perbedaan antara bayi lelaki dan perempuan dari tiga sisi:

  1. Banyak lelaki dan wanita yang menggendong bayi lelaki, sehingga kencingnya banyak mengenai orang sehingga mencucinya cukup menyusahkan.
  2. Kencing bayi lelaki tidak turun di satu tempat tapi berpencar di sana sini sehingga susah mencuci yang terkena, berbeda dengan bayi perempuan.
  3. Kencing bayi perempuan lebih berat dan baunya lebih menyengat dari kencing bayi lelaki. Sebabnya adalah panasnya lelaki dan lembabnya perempuan. Panas meringankan bau kencing dan menghilangkan darinya yang tidak terjadi dengan kelembaban.[6]

Sedangkan Imam Ibnu Mâjah rahimahullah meriwayatkan dari Abul Yamân al-Mishri, beliau berkata: Aku bertanya kepada Imam asy-Syafi’i rahimahullah tentang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Kencing bayi perempuan dicuci dan kencing bayi laki-laki cukup dibasahi saja dengan air.” dan kedua air adalah sama? Beliau rahimahullah menjawab, “Karena kencing bayi lelaki dari air dan tanah sedangkan kencing bayi perempuan dari daging dan darah.” Kemudian beliau berkata kepadaku, “Apakah kamu faham?” Saya jawab, “Tidak.” Beliau rahimahullah berkata lagi, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla setelah menciptakan Adam, diciptakan Hawa’ dari tulang rusuknya yang terpendek. Sehingga kencing bayi lelaki dari air dan tanah dan jadilah kencing bayi perempuan dari daging dan darah. Beliaupun bertanya kepadaku, “Apakah kamu faham?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau rahimahullah berkata lagi kepadaku, “Semoga Allâh memberikan kepadamu kemanfaatan dengannya.”[7]

Ibnu al-Mulaqqin rahimahullah berkata: Ini indah dan bagus, tidak ada seorangpun yang menyamainya. Yang aneh Ulama Syafi’iyah tidak memperhatikan hal ini dalam kitab-kitab mereka padahal ini adalah perkataan Imam mereka[8]

  1. Cara membersihkan kencing bayi lelaki yang cukup dengan diperciki air tidak menunjukkan kencing anak laki-laki itu suci. Kencing bayi lelaki tetap najis, namun mudah dalam menghilangkannya. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata bahwa sebagian sahabat kami (Ulama Syafi’iyah) menukilkan ijma’ tentang najisnya dan tidak ada menyelisihi ini kecuali Dawûd azh-Zhâhiri. [9]
  2. Hadits ini menunjukkan juga kotoran bayi sama baik lelaki maupun perempuan dan harus dicuci seperti najis-najis lainnya.

MASAIL:
1. Illat dari diperbolehkannya membasahi kencing bayi lelaki.
Para ulama berselisih tentang illat (hikmah) masalah dalam beberapa pendapat:

  1. Kencing bayi lelaki betebaran di beberapa tempat dari pakaian, berbeda dengan bayi perempuan yang kencingnya di satu tempat saja. Sehingga diringankan pada kencing bayi lelaki karena kesulitan (masyaqqah) yang terjadi dalam mengikuti tempat-tempat pakaian yang terkena kencing. Kesulitan menuntut adanya kemudahan (al-masyaqqah tajlubu at-taisîr) sebagaimana diringankan juga pada bekas makan dan minumnya kucing karena sukar menghindarinya. Ini dirajihkan Syeikh ar-Râjihi dalam al-Ifhâm fi Syarhi Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Ahkâm 1/29.
  2. Sebabnya adalah banyaknya kaum lelaki dan wanita yang menggendongnya karena kecintaan mereka kepada bayi lelaki melebihi perempuan yang sedikit digendong-gendong.
  3. Sebabnya adalah lelaki pada asalnya diciptakan dari tanah dan debu dan wanita dari daging; karena Hawa’ diciptakan dari Adam dan Adam diciptakan dari tanah dan debu sehingga diringankan pada kencing bayi lelaki tidak dengan yang perempuan.
  4. Kencing bayi perempuan lebih berat dan baunya kebih menyengat dari kencing bayi lelaki. Sebabnya adalah panasnya lelaki dan lembabnya perempuan. Panas meringankan bau kencing dan menghilangkan darinya yang tidak terjadi dengan kelembaban.

Syeikh Abdullah al Bassâm berkata: Ini adalah hikmah yang disampaikan para Ulama dalam perbedaan antara kencing bayi lelaki dengan kencing bayi perempuan. Apabila benar maka ia adalah hikmah yang dapat dicerna akal. Apabila tidak benar maka hikmah adalah hukum Allah; kita mengetahui secara yakin bahwa syariat Allah adalah hikmah. Syariat tidak membedakan antara dua hal yang serupa kecuali adanya hikmah yang menuntut adanya pembedaan. Syariat juga tidak akan menyatukan keduanya kecuali ada hikmah yang menuntut penyatuan; karena hukum-hukum Allah tidak ada kecuali sesuai maslahat, namun kadang tampak dan kadang tidak tampak. [10]

2. Apakah diwajibkan mencuci kencing bayi lelaki dan perempuan?
para Ulama bersepakat tentang kenajisan kencing manusia, sehingga pada asalnya dalam najis adalah wajib dicuci dan dihilangkan. Namun hadits ini berisi pengecualian dari kaedah umum tersebut. Dari sinilah para ulama berbeda pendapat tentang kandungan hadits ini dalam tiga pendapat:

Pendapat Pertama:
Mencukupkan dengan membasahi atau membilas pada kencing bayi lelaki dan perempuan selama belum makan makanan. Apabila telah makan makanan maka wajib dicuci.  Inilah pendapat yang diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Sufyân dan al-Auza’i sebagaimana disampaikan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla 1/133.

Ini adalah salah satu pendapat Imam al-Auza’i yang dinukilkan Imam an-Nawawi dalam al-Majmû’ 2/589, Ibnu Hajar dalam Fathul Bârî 1/327, asy-Syaukani dalam Nailul Authâr 1/61 dan ash-Shan’ani dalam Subulussalâm 1/81.

Pendapat ini juga adalah riwayat dari Imam Syafi’i dan Mâlik sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul ‘Arabi dalam ‘Âridhatul Ahwadzi 1/93, asy-Syaukani dalam Nailul Authâr 1/61 dan al-Mubârakfûri adalah Tuhfatul Ahwadzi 1/237.

Di antara dalil pendapat ini adalah hukum kencing bayi lelaki dan wanita setelah makan makanan satu, sama-sama dicuci, demikian juga hukum keduanya sebelum makan makanan juga satu yaitu cukup dibasahi saja.

Qiyas ini tidak diterima dan fasid karena menentang hadits yang shahȋh. Demikian juga pendapat ini tidak mengambil keumuman kewajiban mencuci semua kencing dan tidak mengambil hadits yang sedang dibahas ini dalam pengecualian kencing bayi lelaki yang belum makan makanan. Oleh karena itu menjadi pendapat terlemah dalam masalah ini.

Pendapat Kedua:
Diwajibkan mencuci dari kencing bayi lelaki dan perempuan baik yang sudah makan makanan atau belum. Sehingga hukumnya sama dengan hukum kencing-kencing manusia lainnya. Inilah pendapat mazhab Abu Hanifah (Syarhu Ma’ânil Âtsâr 1/94), Mâlik (Bidayah al-Mujtahid 1/82 dan 77 dan at-Tamhîd 9/109) dan al-Hasan bin Hay (at-Tamhîd 9/109) dan dinukilkan dari Imam an-Nakha’i (lihat al-Muhallâ 1/132) dan selainnya.

Hujjah pendapat ini :

  1. Keumuman dalil-dalil yang menunjukkan pencucian kencing dan istinja’ darinya. Mereka menyatakan: Tidak ada perbedaan antara kencing bayi lelaki dan wanita dalam kenajisannya, semuanya najis sehingga wajib dicuci.
  2. Mereka berkata: Yang dimaksud dengan arrasy dan an-nadh-h dalam hadits adalah mencuci.
  3. Kencing bayi wanita dan lelaki sebelum makan dinamakan juga kencing sehingga masuk dalam keumuman hadits-hadits yang ada seperti hadits a’rabi dan lain-lainnya.

Pendapat Ketiga:
Membedakan antara kencing bayi wanita dengan bayi lelaki. Kencing bayi wanita dicuci dan kencing bayi lelaki dibasahi air.

Ibnu Hazm dalam al-Muhallâ (1/132) menyatakan: Di antara ulama yang membedakan antara kencing bayi lelaki dan wanita adalah Ummu Salamah Ummul Mukminin dan Ali bin Abi Thalib, dan tidak ada dari sahabat yang menyelisihi keduanya. Ini juga pendapat Qatadah dan as-Zuhri dan beliau berkata: Sunnah telah berlaku demikian. Juga pendapat ‘Atha bin Abi Rabâh, al-Hasan al-Bashri, Ibrohim an-Nakha’i, Sufyan Ats-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, Dawud dan Ibnu Wahb serta lainnya.

Al-Walid bin Muslim meriwayatkan ini dari Imam Mâlik dan berkata ulama-ulama Mâlikiyah: Ini riwayat syadzah, sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bâri 1/327.

Dalil pendapat ini:

  1. Hadits yang dibahas ini dengan riwayat-riwayat penguatnya yang banyak yang mengkhususkan bayi lelaki yang belum makan dengan dibasahi tanpa dicuci, sehingga cukup dengan membasahi dengan air tanpa butuh mencucinya dengan air yang banyak dan memerasnya.
  2. Hadits-hadits pengkhususan ini lebih pas diambil dari pada hadits-hadits yang bersifat umum tentang kencing, karena mengamalkan hadits yang khusus ini tidak meniadakan hadits-hadits yang umum, bahkan tetap keumuman berada dalam keumumannya, kecuali kencing bayi lelaki saja yang dikeluarkan dari keumuman tersebut.

Rȃjih:
Pendapat ketiga inilah yang rȃjih sesuai dengan dalil yang ada.

Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Al-Istî’âb 11/311 dan lihat juga biografinya di al-Ishâbah 11/179.
[2] As-Sunan al-Kubrâ 2/41.
[3] Lihat Tahdzîbut Tahdzîb (2/296)
[4] Hadits musnad adalah hadits yang datang dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sanadnya bersambung
[5]  As-Sunan al-Kubrâ 21/416.
[6]  I’lâm al-Muwaqqi’în 2/95.
[7]  lihat Sunan Ibni Mâjah 1/175
[8]  Al-I’lâm Bi Fawâ’id ‘Umdah al-Ahkâm 1/686.
[9]  Syarh Shahîh Muslim 3/199.
[10] Taudhîh al-Ahkâm 1/186.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6899-mensucikan-kencing-bayi.html